NARASAKU.COM – Federal Reserve (The Fed) kembali menyuntikkan dana besar ke pasar keuangan Amerika Serikat.
Pada 31 Oktober 2025, suntikan sebesar US$ 29,4 miliar disalurkan melalui operasi repo—terbesar sejak masa gelembung dot-com.
Langkah ini tampak seperti respons cepat terhadap tekanan pasar kredit dan pelemahan obligasi pemerintah AS.
Baca Juga:Nilai Tukar Rupiah Hari Ini Melemah Tipis, Tertekan Sentimen Global dan Kebijakan The FedHarga Emas Hari Ini Naik 3 Hari Beruntun, Antam Tembus Rp2,64 Juta per Gram
Namun di balik niat menstabilkan pasar, muncul pertanyaan penting: apakah pelonggaran likuiditas ini justru menambah risiko baru bagi sistem keuangan global?
Risiko Ketergantungan Pasar pada Likuiditas The Fed
Operasi repo memungkinkan lembaga keuangan menukar surat berharga dengan uang tunai untuk menjaga aliran pendanaan jangka pendek.
Dalam jangka pendek, hal ini menenangkan pasar. Tapi ketika bank sentral terlalu sering turun tangan, pasar menjadi tergantung pada dukungan darurat tersebut.
Kondisi ini menciptakan apa yang disebut moral hazard—di mana pelaku pasar merasa aman mengambil risiko lebih besar karena yakin The Fed akan selalu hadir sebagai “penyelamat terakhir”.
Jika suatu saat bank sentral menarik kembali dukungannya, guncangan bisa jauh lebih keras.
“Setiap kali The Fed menambah likuiditas, pasar bernapas lega. Tapi setiap napas lega itu datang dengan utang risiko yang harus dibayar nanti,” ujar seorang analis makro dari New York Digital Markets.
Risiko Ketidaksinkronan Kebijakan Global (The Fed vs PBOC)
Dalam waktu hampir bersamaan, Bank Sentral China (PBOC) juga melakukan injeksi uang tunai besar ke sektor perbankan domestik untuk menahan pelemahan ekonomi.
Baca Juga:Harga Emas Hari Ini Kamis 16 Oktober 2025: Antam, UBS, dan Galeri24 Kompak Meroket NaikHarga Emas Melejit! Antam Tembus Rp2,56 Juta, UBS dan Galeri24 Ikut Meroket
Dua bank sentral terbesar dunia kini sama-sama menambah likuiditas, tapi dengan tujuan dan konteks berbeda.
The Fed berusaha menstabilkan pasar kredit yang ketat tanpa menyalakan kembali inflasi.
PBOC justru mencoba memacu pertumbuhan di tengah deflasi dan krisis properti.
Ketidaksinkronan arah kebijakan ini dapat menciptakan arus modal lintas-negara yang tidak stabil.
Saat dana murah mengalir keluar dari AS menuju Asia atau sebaliknya, volatilitas di pasar mata uang dan aset berisiko bisa meningkat tajam.
Risiko Inflasi Aset dan Gelembung Baru
Likuiditas yang berlimpah sering kali tidak berhenti di sektor riil. Ia mengalir ke pasar saham, obligasi, hingga kripto—menyulut kenaikan harga yang tidak selalu ditopang oleh fundamental ekonomi.
